Rabu, 05 Oktober 2011

Roman Novel kehilangan Mestika


BAB I
PENDAHULUAN

Biografi  Hamidah (Fatimah Hasan Delais)
Penggunaan nama samaran merupakan salah satu siasat penulis dalam "memasarkan" karyanya. Meskipun tidak selama alasan penggunaan nama samaran seperti itu, yang jelas pelauang menggunakan nama samaran tersebut melegakan hati kalangan penulis. Minimal, mereka dapat menyembunyikan identitas dirinya dari publik. Akan tetapi, kadangkala nama samaran seorang penulis itu lebih populer dari nama asli. Kesan seperti itu terlihat jelas pada pengarang Hamidah.
            Hamidah adalah nama samaran dari Fatimah Hasan Delais. Wanita pengarang ini berasal dari daerah Munto, Bangka (sekarang Prov. Babel). Ia menikah dengan seorang laki-laki bernama Hasan Delais. Jadi, Hasan Delais di belakang nama Fatimah adalah nama suaminya. Ia meninggal di Palembang pada tanggal 8 Mei 1953 dalam usia sangat muda, 38 tahun.
           Jenjang pendidikan dasar dan menengah ditempuh Hamidah di kampung halamannya. Selepas dari sekolah lanjutan pertama, Hamidah  melanjutkan pendidikannya ke sekolah Guru Putri       Padangpanjang.
           Selepas dari Sekolah Guru Putri Padangpanjang, Hamidah pulang ke kampungnya, Muntok, Bangka. Ia mengajar di sekolah gadis di kampung halamannya. Di samping itu, Hamidah giat pula dalam organisasi wanita di Muntok. Tidak lama mengbdi di kampung halamannya, Hamidah kemudian pindah ke Palembang.
          Tidak banyak informasi yang dapat dikumpulkan tentang wanita pengarang yang berasala dari Sumatera Selatan ini. Namanya dikenal dalam khazanah sastra Indonesia karena karya yang berjudul Kehilangan Mestika. Novel ini ditulis Hamidah pada waktu Hamidah masih berusia 19 tahun. Artinya, Hamidah masih dalam lingkungan sekolah atau masih uduk di bangku sekolah guru.
           Kegemaran Hamidah terhadap sastra tampaknya didasari oleh kebersinggungannya dengan bacaan-bacaan. Perhatian yang tinggi terhadap kehidupan dikoolabrasi dengan kreativitas menuangkannya dalam bentuk tulisan membuahkan sebuah karya yang bernas pada zamannya.
           Novel Kehilangan Mestika karya Hamidah diterbitkan pertama kali pada tahun 1935. Kemudian, novel ini dicetak ulang pada tahun 1937 (cetakan kedua), 1949 (cetakan ketiga), 1954 (cetakan keempat), 1957 (cetaka kelima), dan 1963 (cetakan keenam). Pada cetakan kelima dan keenam, novel Kehilangan Mestika dicetak ulang sebanyak 10.000 eksemplar.
          Cetakan keempat habis dalam waktu satu tahun, sedangkan cetakan keenam habis dalam waktu dua tahun. Berdasdarkan kenyataan sepwerti itu, H.B. Jassin berpendapat bahwa novel karya Hamidah tersebut termasuk salah satu buku yang disukai kala itu.
          Menjelang akhir hayatnya, Hamidah berniat untuk menghadirkan karya novel lagi ke dal;am belantara khazanah sastra Indoesia. Akan tetapi, keinginannya itu ternyarta hanya sebatas hasrat dari seorang penulis. Ia dipanggil menghadap Tuhan Yang Mahakuasa sebelum keinginan tersebut diwujudkannya.
Di Bangka Belitung masyarakat sendiri pada umumnya tidak lagi mengenal siapa sebenarnya sastrawati asal Mentok yang bernama asli Fatimah Hasan Delais itu. Apalagi untuk mengenal karyanya. Bahkan tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa sebenarnya selain romannya yang terkenal, Kehilangan Mestika (1938), sastrawati Angakatan Balai Pustaka itu juga seorang cerpenis dan penyair. Karya-karyanya yang berupa cerpen dan puisi boleh dikatakan hampir tidak bisa ditemui lagi. Upaya untuk menggali jejak Hamidah sendiri pun, seperti yang sedang dilakukan oleh penyair Ira Esmeralda hingga kini tidak pernah jelas bagaimana       kabarnya.



BAB II
PEMBAHASAN
Sinopsis “Kehilangan Mestika”
Buku ini menceritakan seorang Hamidah diri prngarang sendiri yang membuka jalan bagi kaumnya di negerinya, Muntok. Kemudian ia dipindahkan ke Palembang. Dalam perjalananya kapal Muntok-Palembang, terjadilah ikatan sehidup semati dengan Ridhan. Hubungan itu tidak disetujui paman Ridhan, dan Hamidah menerimanya akibatnya kena tipu sehingga pekerjaanya pada gebernumen terlepas, dan Ridhan meninggal oleh pamannya.
Kembalilah ia ke Muntok dalam keadaan sakit rohani jasmani. Di Muntok ia aktif lagi. Ketika dua orang pemuda, Anwar dan idrus mencintai sekaligus, ia telah memilih Idrus. Ia dan idrus kemudian berusaha sehingga Anwar berjodoh dengan Rukiah. Dengan kematian ayahnya, nasib Hamidah menjadi berubah. Ia harus ikut saudaranya ke Jakarta. Karena taktik saudaranya itu, gagalah cita-citanya untuk hidup bersama dengan Idrus. Dikawinkanlah ia dengan Rusli, dengan susah payah, akhirnya hamidah berhasil memindahkan cintanya pada Rusli. Tetapi bersama dengan keberhasilan itu, ia mesti kehilangan Rusli karena yidak mempunyai anak. Atas permintaan sendiri ia bercerai dengan Rusli, karena merasa tak ada lagi gunannya diikat tali perkawinan. Rusli telah berbahagia dengan istri muda dan anaknya. Pulanglah Hamidah ke Muntok dengan membawa keremukan hati tak terkira. Dirinya sudah tua hidup sendiri, terpisah dari  yang dikasihi dan mengasihi, karena Idrus yang memilih tidak kawin setelah putus dengan Hamidah, baru saja meninggal.
Sudut Pandang
Kelainan Hamidah dari pengarang sezamannya ialah pemakaian gaya aku, namun sayang tidak dikembangkan secara lebih jauh dalam tekhnik. Hal ini ternyata menyeret juga penampilan perwatakan, terutama dalam menampilakan tokoh-tokoh lain dalam cerita tidak hidup, sebab semuanya hanya deceritakan melalui tokoh utama. Melihat kedataran dan kelurusn komposisi, kemungkinan besar pemakaian tersebut disebabkan cerita itu merupakan pengalaman sendiri. Nampaknya Hamidah bercerita persis seperti apa adanya, tanpa imajinasi yang mampu mengakat karya itu.
Gaya Bahasa
Hamidah mempunyai keistimewaan lain ialah tidak lagi mempegunakan perumpamaan-perumpamaan, pepatah, percakapan-percakapan yang berkepanjangan ataupun kalimat-kalimat yang panjang seperti lazimnya pengarang masa itu. Nasihat-nasihat seperti umumnya pengarang masa itu bertebaran di sana sini, walaupun tidak selalu secara eksplisit
Tema dan Amanat
Judul dan kalimat-kalimat permulaan buku ini telah memberikan bayangan bahwa pengarang akan menceritakan sesuatu yang sedih. Ternyata memang menyedihkan juga. Hamidah kehilangan semua yang ia kasihi dan yang mengasihi : bapak, kekasih, suami, kebahagiaan.
Begitulah, maka roman ini dijiwai oleh sesuatu yang bisa kita tarik setelah selesai membacanya: orang yang gagal hidup sebagai suami istri dengan orang yang dicintainya, tidak menemui kebahagiaan. Sedangkan hal yang lain bisa pula kita petik, misalnya: tanpa adanya keagungan cinta yang mendalam, maka tidak hadirnya anak bisa meretakan perkawinan; hendaklah orang jangan mudah percaya pada berita buruk dari orang lain tanpa menyelidiki terlebih dahulu.
Terkandungnya nilai tragis: berusaha mencintai suami yang tidak mencintai sementara sudah berhasil ia harus berpisah karena tidak punya anak, dan sampainya renungan pengarang pada lapis metafisika: kesadarannya akan waktu sehingga ia meyadari dirinya yang berangkat tua dan harus berpisah dengan dunia orang muda, membuat karya ini memiliki bobot hampir cukup. Penyelaman psikologis yang mendalam dan mengharukan dari roman ini mampu menutup kelemahan-kelemahan lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar